Yoel Cari Kerjaan Baru (2/2) — The 10 Lesson Learned
TLDR: Ga ada TLDRnya. Ini postingan panjang. Baca kalau emang mau belajar dari kegoblokan gw.
Untuk konteks ceritanya bisa dilihat di part 1 story ini.
Along the way setelah 34 self-pity, 8 kesedihan, dan 6 kekecewaan I did learn several lessons. Here are 10 of them:
- Maintain good relationship with your ex and current boss/colleagues
Success rate gua untuk bisa lolos profile screening dan dapetin first interview lewat jalur apply sendiri: 5 dari 36. 14% doang! Gila ga. Stark different with my success rate for getting the first interview from the referral route: 13 dari 16. 81%! 14% jalur mandiri vs 81% jalur ordal, that was a huge different. I am very thankful with the referral help of mostly from my former colleagues (bless their souls!)
Also, untuk dapetin referral, menurut gua, gpp kalau asal tembak yang lu ga kenal. Ini gua minta referral dari orang yg gua ga kenal di Google lewat LinkedIn message.
Kadang dibales kadang ga dibales. Ini ada yg gw diread doang. lol. Biasa aja ga boleh baper.
Jadi, maintain good relationship with your ex and current boss and colleagues itu penting banget. Never burn bridges with them . We never know whether our path will cross together again. Selain itu, di tahapan akhir wawancara, perusahaan selalu minta referensi dari (current or former) direct manager, direct report, dan colleague. Jadi bakal butuh bantuan mereka juga untuk bisa kasih rekomendasi kita.
2. Desperate boleh tapi jangan ngasal apply ke semua perusahaan
Ada satu momen yang gw lumayan desperate. Gua berasa susah banget buat dapetin yang gua cari. Di waktu itu gua jadi ngasal. Gua turunin standard gua dan apply ke perusahaan2 yang even gua ga tertarik sebenernya kalau nanti dapet offernya. Karena asal itu, gua juga jadi males2an waktu ngisi form aplikasinya.
And can you guess, how was my success rate for this desperate act? Ya 14% success rate yg self apply tadi. Kalau lu lihat dari list 36 perusahaan itu, banyak banget gua apply ke perusahaan2 yang gua kaga tertarik sebenernya: Lululemon, Trustpilot, Decathlon, Flink, Getir, dan belasan lain. Asal openingnya di 6 kota yang gua kejar, gua hajar aja langsung apply. Dari 5 perusahaan yang gua asal apply pake Easy Apply nya Linkedin di bawah ini, kaga ada yang lolos even untuk first interviewnya. LoL.
Tapi karena gua asal2an, even waktu gua lolos ke tahapan interview (Trustpilot, Flink, etc), gua juga males2an lewatin prosesnya. Jadinya gua terjebak sunk cost fallacy. Mau berhentiin prosesnya di tengah jalan juga enggan karena gw desperate banget cari offer letter itu. Dan ya jadinya kaya menyeret kaki waktu interview sama mereka and for sure mereka juga bakal bisa rasain kalau gua sebenernya ga terlalu tertarik untuk join mereka.
3. Desperate boleh tapi jangan ngasal apply ke role yang ga matching sama strength dan career path gua
Karena jumlah opening untuk posisi yang mirip sama yg gua kerjain sekarang (VP, Director, Head di UX design) ga terlalu banyak, akhirnya gua turunin aim gua jadi apply ke role kaya senior design manager atau design manager. Ini salah satu my biggest foolish move sih. Gua pikir karena openingnya untuk design manager lebih banyak, ya ud gua apply aja. Dengan berharap untuk menaikkan chance gua untuk bisa diterima.
Downgrading job level ketika apply ke perusahaan yang lebih mature (FAANG) sebenernya adalah hal yang normal. Tapi yang gua lakuin bukan downgrading dari yang gua sekarang seorang VP trus apply ke posisi director atau dari orang yang posisinya sekarang senior manager trus apply ke posisi manager. Jadi applying ke posisi2 design manager lebih adalah sebuah desperate act, karena itu gw sedang apply ke role yang secara nature berbeda banget dari pekerjaan gua sekarang.
Kerjaan gua sekarang as SVP of design itu managing design managers. Kerjaan gua lebih banyak zooming out ke organization building, product strategy, managing up, dan operations. Sedangkan design manager fokus kerjaannya lebih banyak ke managing designers dan jaga kualitas craft yang dikeluarin.
Efek ga menguntungkan yang paling berasa ya tentu saja waktu di-interview. Waktu interview, pewawancara akann deep dive assessing satu2 ke craft kita. Nah kalau selama ini craft gua adalah “managing design managers”, ketika gua ditest craftnya untuk “managing designers”, tentu gua jadi gelagapan.
Dari 10 perusahaan yang gua lolos sampai final interview, 8-nya adalah posisi Director, Head, atau VP. Dan 2 sisanya adalah design manager. Terlihat counter-intuitif kan? Harusnya chance gua untuk lolos sampai tahap akhir akan lebih tinggi untuk role dengan kualifikasi lebih rendah (design manager). Tapi ternyata kenyataannya berbeda. Prediksi gua salah. Chance gua untuk lolos sampai tahap akhir ya ketika gua apply ke sebuah role yang sesuai dengan strength dan role gua yang sekarang. Orang emang gua ini kerjaannya setiap harinya berenang. Malah coba2 apply ke role yang setiap harinya kerjaannya terbang. Ya mati ga bisa bernafas gua.
Lebih parah lagi gua sempet apply ke role yang lintas function: apply jadi Sr Product Manager di Amazon Jepang, ya tentu saja diundang interview aja kaga. LoL.
4. Desperate boleh tapi harus tau kapasitas mental dan fisik gua
Dari interview pertama sampai final interview step itu biasanya rata-rata ada 7 interviews (1 sama recruiter, 1 sama hiring manager, 5 sama panel interview) + 1 portfolio presentation. Jadi kalau gua kali 8 steps itu dengan 10 perusahaan yang gw sampai ke tahapan akhir ada 80+ jam interviews. Ditambah 8 perusahaan yg gw sampai ke tahap awal doang => another 10+ jam interview. Belum lagi, puluhan jam yang gua harus pakai buat susun portfolio, kerjain case study, atau latihan persiapan interview. It was fucking draining mentally and physically.
Apalagi karena gua apply ke perusahaan yang timezonenya Eropa atau punya HQ di Ameriki, jam-jam interviewnya suka ajaib…jam 11 malam, 12 malam. Portfolio presentation gw ke Facebook pernah di jam 1 pagi Jakarta.
And definitely gua jadi ga maksimal waktu interview. Gua bahkan pernah dua kali salah converting timezone jadwal wawancara: satu sama Facebook, satu lagi sama Google. Ini email dari Google yang bikin gua harus reschedule interviewnya dalam 2 minggu. Haha
Ada satu waktu lagi, jam 11 malaman gua lagi latihan buat portfolio presentation, trus gua tau2 dapet telp dari nomer telp London. Gua terima ternyata recruiter Meta dan nanya “Lu dimana? koq ga ada di ruangan interview?”. Gua gelagapan dong. Ternyata gua salah converting timezone. Presentasi yang gua pikir besok, ternyata di hari itu juga. Dan ya bisa lu bayangin ga, gimana gelagapannya waktu gua langsung harus jump in to the interview after that heart attack call.
Mungkin emang bisa aja karena dasarnya gua ceroboh, tapi menurut gua lebih karena gw exhausted mentally and physically waktu itu, karena in paralel gua interview sebanyak itu.
Strategically gua lakuin paralel interview itu dengan harapan gua akan bisa dapet competing offer, yang hopefully bisa bantu gua untuk nego offernya. Tapi somehow gua ga aware dengan kapasitas keterbatasan fisik dan mental gua sendiri.
5. Practice, practice, practice
Interview itu salah satu momen penting. Dalam satu jam lu perlu menjual diri lu dan dapetin “yes, I want to work with this person” dari si pewancara. Padahal ada banyak barrier yang perlu kita hadapin: pewancaranya kaga tau Indonesia atau perusahaan gua (familirity bias), dia harus denger Inggris gua yang ga native, dan resiko dia tinggi juga krn dia lagi interview calon bos atau calon anak buah yang bisa bakalan mengubah suasana kerja dia jadi hell kalau dapet orang yg jackpot. Karena barrier2 ini, kadang kita harus super keren waktu interview, melebihi kerennya kita waktu kerja beneran. LoL. Perlu bisa bikin pihak sono “understand” and “convinced” in only 30 min-1 hour. Untuk itu gua percaya banget kalau practice itu mandatory banget.
Gua latihan sendiri puluhan jam dengan menulis jawaban2 dari pertanyaan yg mgkn ditanyain ke gua. Gua even nulis script untuk portfolio presentation gua. Scriptnya ga bakal gua baca waktu presentasi, tapi at least bantu gua untuk menyusun flow dan narasi dari presentasinya. Gua juga minta tolong bantuan temen2 gua buat dengerin presentasi gua (bless their heart!) atau do mock interviews with me. Ini group yang gia bikin bareng temen2 yg bantuin buat latihan interview.
6. Self doubt boleh, tapi jangan lama-lama. Ada BANYAK faktor yang mempengaruhi kegagalan kita, bukan cuman skill dan personal worth kita.
Sering banget gua insecure and self doubt setelah dapat rejection email atau dikabarin recruiternya kalau gua ga dpt offer setelah sebuah tahapan akhir. Sering mikir “Apa gua ini jelek bgt yah? Apa gua ini sebenernya ga tau bidang design atau research atau leadership yah? Gila ini even buat wawancara pertama aja gua ga dapet loh. Emang resume gua sejelek itu yah?”
Setiap gua down karena habis ditolak, pacar gua selalu nyemangatin “Ya waktunya buat refleksi, kenapa yg kemarin gagal and bisa diimprove skill yang mana”. But it is dang hard, man. Sometimes gua realize kalau ada banyak hal yang di luar kontrol gua, yang even kalaupun gua berusaha refleksi, ga ada koq hubungannya faktor2 itu sama skill gua (personal gua).
Jadi akhirnya gua selalu berusaha untuk memegang mantra ini “Hasil dari sebuah proses interview (terutama yang penolakan) TIDAK menggambarkan tentang value gua secara utuh. Ada BANYAK faktor selain self-worth (skill, knowledge, experience) yang bikin gua ga dapetin offer letter itu”.
Contohnya dari email penolakan di bawah ini, gua bisa belajar percaya kalau gua ditolak bukan karena skill gua kurang oke, tapi karena perusahaannya ga offer relocation dan karena bukan salah ibu mengandung yang bikin paspor gua warna ijo gambar burung angkat tangan.
Tapi seringnya, gua terjebak sama “fallacy of the single cause” yang mengatributkan semua kegagalan, 100% ke self worth/ skill personal gua. Jadi seakan setiap kali gua ditolak, self worth gua didiskon 2%. Habis deh itu self worth gua after 48x penolakan. LoL.
Tapi akhirnya gua belajar untuk percaya bahwa ada BANYAK banget faktor yang mempengaruhi candidacy gua: perang Rusia-Ukraine, warna paspor gua, nama gua yg kedengeran kurang legit, hiring manager yg asshole, recruiter yg congkak, resesi tech, kestabilan hormon interviewer saat interview gua, craft design gua, aksen bahasa Inggris gua, dan puluhan faktor lainnya. Termasuk 4 faktor utama barrier yang gua tulis di postingan sebelumnya.
7. This is difficult but try to always to look at the bright side.
Ini masing2 orang akan berbeda, tapi gua itu master banget untuk urusan guilt-trip diri gua sendiri. Jadi emang kaya kecanduan untuk holding on the negative voice inside my heart. Ini ada satu contoh kasus.
Waktu interview sama Miro, gua tau kalau gua ga bakal cocok banget sama calon bosnya. Orang Rusia super ketus and gua berasanya ga dapet aja chemistrynya sama doi. Setelah interview sama doi, gua udah bilang sama diri gua sendiri kalau “I won’t proceed. Gua kayanya ga akan bisa kerja ama orang ini. Ngapain cari masalah sendiri”. Gayung pun bersambut. Then gua dapet penolakan dari Miro. Nah, harusnya kan gua happy yah. Gua berasa ga cocok ama Miro, Miro berasa ga cocok ama gua. Win win solution dong!
Daripada nanti kerja malah kaya kekerasan atau drama rumah tangga. But still, gua malah memilih untuk mencambuki diri sendiri setelah dapat email penolakan itu: “Shit, am i not that good? sampai gagal dpt offer dari Miro? Padahal gua udah turunin salary expectation gua lebih dari 50% dari yg gua dpt skrg”. Harusnya gua bisa look at the bright side “Yes. Gayung bersambut. Gua diselamatkan dari kerja under pak Putin itu. lol”. But yeah, we usually tend to hear to the negative voice more.
8. If there is a deadlock, you can always make a proposal.
Gw lakuin ini beberapa kali, sama Smartnews di Jepang dan Delivery Hero di Jerman contohnya. Kadang ada satu faktor yang bikin deadlock walaupun kedua pihak sama-sama suka mau kerja bareng. Faktor deadlock ini macem2: posisinya kurang pas, birokrasi visa kerja, ada kandidat lain yang sama2 disukai hiring managernya, budget untuk rolenya ga sesuai dengan salary expectation kita, waktu notice period bertentangan sama availability kita, dsb.
Di Smartnews, hiring bossnya udah mau kasih offer ke gua, tapi dia butuh untuk seseorang yang bisa kerja dari Ameriki — while it is hard to get a working visa there and I wanted to work in Japan. Jadinya gua propose sendiri ke hiring bossnya “Gimana kalau gua kerja dari Jepang aja dan scope kerjaan yang mau gw ambil X, Y, Z”. Ini potongan email yang gua kirim ke calon boss itu.
Yang di Delivery Hero juga mirip. Gua dan pihak hiring managernya udah berasa cocok mau kerja bareng. Tapi deadlock karena budget gaji untuk role yang gua interview itu di bawah expectation gua. Jadinya waktu wawancara sama bossnya calon-boss gw (CPO perusahaannya), gua nekat propose “Bisa ga level gua disamain sama si calon boss gua ini. Scopenya kerjaan gua bisa ditambahin X, Y, Z. Kalau level gua bisa dinaikkin satu lagi, harusnya budget gajinya bisa sesuai dengan expectation gua. So we can work together”. Si orangnya lumayan reasonable dan akhirnya mengiyakan request gua.
Tapi harus hati-hati banget untuk melakukan ini. Gua ga akan melakukan ini kalau gua belum sampai tahapan hampir dapat offer. Karena prinsip reciprocity aja. Ga mungkin gua udah minta aneh2 X, Y, Z di awal-awal percakapan. Kalau gua percaya diri udah berhasil tunjukin skill, experience, dan knowledge gua, barulah gua berani bikin proposal kaya gitu.
Dan ya ga selalu berhasil. Ada satu kasus dimana gua udah mau dikasih offer sama Foodpanda fintechnya. Gaji udah oke. Kerjaan nyambung. Tapi gua ga mau pindah ke Singapore lagi. Jadinya gua propose ke bossnya “Gua oke tapi boleh ga gua kerja dari Jepang. Lu punya office kan di sana, pasti bisa kasih visa kerja Jepang ke gua.”. Dan tentu saja ditolak. LoL. Gua ga tau kalau setelah beberapa waktu kemudian Foodpanda keluar dari Jepang.
Proposal kita ga akan selalu berhasil tapi nurut gua bisa jadi last effort kalau semuanya seems go well except satu faktor yang jadiin deadlock. Ya uda coba aja propose satu keadaan untuk solving that deadlock.
9. Engage from a place of power and calmness
Interview gua paling ancur adalah ketika gua grusa grusu, ga pede, pengen banget rolenya, atau terlalu berharap. Interview gua paling oke adalah ketika gua biasa aja dengan rolenya — approaching more with curiosity, pede, dan tenang.
Ketika gua tenang, gua lebih bisa jadi diri gua sendiri. Dan gua yakin, interviewernya juga jadi bisa lebih assess, apakah emang gua bakalan cocok dengan culture perusahaannya.
Selalu ada godaan untuk tidak tenang dan tidak jadi diri sendiri. Pernah suatu ketika, gw udah lewatin interview sama 8 orang di sebuah perusahaan London. I thought I would get an offer from them. But then I didn’t get it. Feedback utama mereka adalah “3 Designer yang interview kamu, yang kemungkinan bakal report ke kamu agak takut dengan style leadership kamu. Mereka pikir kamu ngomongnya terlalu brash. Takut kamu jadi terlalu over-bearing ketika jadi leader mereka”. That feedback really struck me. Dan sejak itu gua kadang ga tenang dengan cara ngomong atau cara pikir gua waktu interview. Berhati-hati supaya ga terlihat “asshole”. Ya jadinya gua bukan jadi diri gua sendiri yang authentic.
Harusnya gua approach all interview process ini dari a place of power, equal social parity. Perusahaannya mau screening gua, tapi gua juga mau screening mereka. Ketika mereka judge gua “kamu itu A makanya kita ga terima kamu”, gua juga bisa judge mereka “Kalian itu A makanya gua ga cocok ama kalian”. Tapi kepercayaan diri dan mindset itu sempat hilang ketika gua diterkam dengan penolakan2.
Sampai akhirnya ketika gw melewati badai self-doubt itu, dan regroup with my inner strength, proses interview jadi lebih enak. Jadi lebih smooth. Gua ga ada beban. Gua kasih lihat mereka apa adanya tentang cara pikir gua, style leadership gua, cara ngomong gua. Kalau lu cocok ya kita lanjut. Kalau ga cocok ya udah.
Dan cuman ketika lewat approach itu juga, chance untuk lolos ke tahap berikutnya gua jadi lebih tinggi. Approaching the interviewers with a mindset that “I know my own value. I know my core strength. And I want to be authentic and honest to you and to myself.”
10. Be faithful with your value and what you really want
Sebelum mulai proses job hunting ini gua udah refleksi tentang atribut2 utama dari pekerjaan gua yang berikutnya. Ada tiga hal utama. Yang pertama kompleksitas. Gua merasa 4 tahun terakhir ini, gua hampir selalu menghadapi tantangan yang mirip-mirip. Jadi for the next job gua pengen cari either produk yang kompleksitasnya berbeda dari yang gua kerjain selama ini (Whatsapp, Google Map, etc) atau organization challenge yang berbeda juga (inter culture team, regional-HQ teams, etc). Kedua, gua mau cari kota atau perusahaan yang bisa dukung value2 utama gua (freedom, adventure, equality, growth). Ketiga, gua emang ada kota2 tertentu yang personally gua pengen coba tinggalin (London, Berlin, Amsterdam, Paris, Tokyo, Vancouver).
Udah jelas gua bikin 3 rambu-rambu dan aim di awal itu. Tapi tetep aja ketika gua lagi error atau down karena penolakan2, gua bisa melanggar rambu-rambu gua sendiri.
Kasus ini terjadi waktu gua akhirnya coba proses interview di Ajaib dan GoTrade. Ada temen deket gua kerja di sana and ajakin gua ke sana. Waktu itu gua mgkn lagi down, jadinya gua iyain aja. Ajaib jelas ga sesuai dengan 3 kriteria gua di atas. Kompleksitas kerjaannya bakal mirip banget sama yang gua kerjain di Bukalapak atau tiket.com. Tapi gua ga setia sama value gua sendiri. Gua malah melacur with a new atribut: money.
Gua bilang ke hiring boss di Ajaibnya kalau gua mau mulai proses interviewnya kalau mereka punya budget buat rolenya sebesar 25% kenaikan dari yang gw earn di tiket.com. They said yes and I did continue the process.
Mabok kan gua. Padahal sejak awal, uang ga pernah jadi bagian 3 faktor utama di atas. Tapi tiba2 gua terlena. Padahal sebelum2nya, gua udah rela menerima fakta kalau take home pay gua bakal mungkin tinggal 30% kalau gua dapetin pekerjaan2 di London, Berlin, Tokyo, etc itu.
Tapi bisa2nya last minute, kerakusan dan rasa takut gua menyerang “Beneran lu mau hidup dengan 30% dari gaji lu sekarang? Di London lagi! Lu bakal hidup di kamar kecil pinggiran London loh…ga mau stay di Indonesia aja? itu Ajaib malah mau loh ngasih kenaikan 25% lagi. Hidup lu bakal nyaman bak sultan banget di Jakarta. Udah stay di Indonesia aja dulu. Dua tahun lagi baru pindah lagi” The same temptation beat me at GoTrade case. Mereka based in Singapore, dan pastinya ga memenuhi 3 kriteria gua di atas itu. Di dua case itu I was not faithful to my original values and first principles dan ya buang2 waktu aja akhirnya. Or lebih parah kalau gua said yes to those offers, bisa-bisa perjuangan gua lainnya hilang sia-sia. I would settle with something that I didn’t like.
Jadi itu 10 lesson yang bisa gua refleksi dari 3 bulan waktu terakhir ini. Di ujung marathon ini, gua lumayan happy dengan apa yang gua dapat. In Q4 this year, I will be a senior director for design and research for quite a legit company in Europe with more than 24k employees. For that, I give myself a pat on the back.
Cheers,
Yoel
(Good job, el! I am proud of you — for both of your winnings and your losses.)
PS: Apakah ada push dari tempat gua kerja sekarang? None at all. To be honest, tempat kerja sekarang gua salah satu the best working place I have experienced. My main reason emang beneran pengen “belajar” lagi ke luar. Untuk tim design yang sekarang, gua bakal masih jadi consultant/advisor untuk mereka nantinya. Dipekerjakan secara part-time. Dan gua percaya banget sama 3 co-design leaders yang bakal lead teamnya. Salah tiga design leaders yang paling kuat yang pernah gua tau. #bangga