Tiga Aspek Penting untuk Dokumentasi Hasil Riset Kualitatif

Yoel Sumitro
5 min readMar 22, 2023

--

Satu bulan terakhir kemarin gua ada proyek sampingan yang ujungnya gua harus bikin laporan dari UXR kualitatif. Lumayan happy karena udah lama banget gua ga bikin tangan gua kotor dengan bikin deck kaya gitu. Di hari libur International Woman’s day di Berlin, gua habisin berjam-jam di sebuah coffee shop untuk beresin laporan itu.

Gua lumayan puas sama hasilnya dan ketika dua minggu lalu gua dan partner gua present laporan itu ke CEO, CPO, and CTO dari sebuah perusahaan tech, responnya lumayan bagus. I feel that we killed it!

Lalu tiba2 sebuah whatsapp message di atas masuk di inbox gua sesudah presentasi itu. Dan bikin gua mikir juga, kira2 apa “ramuan” yang gua pakai buat laporan ini. Hasil refleksi gua bilang bahwa ramuan utamanya ada di 3 hal berikut ini:

1. “What is X?”

Setiap halaman yang gua design di laporan itu, kebanyakan berusaha menjawab dan menjelaskan pertanyaan di atas itu “What is X?”. Jadi misalin gua lagi mau present tentang “nudges” yang ada di booking.com, gua akan berusaha menjawab pertanyaan2 di bawah ini:

  • What is Nudges?
  • What is so hard about making decision?
  • What is it like to make a hard decision?
  • What is it like to be nudged when making a decision?

Dan untuk menjawab pertanyaan2 “what is X” ini paling mudah adalah dengan analogi.

Slide di atas adalah salah satu contoh cara gua menjawab “what is X” dengan analogi itu. Gua lagi mendeskripsikan ke audience bahwa “X” itu seperti rasanya kebelet mau boker. Hampir semua orang bisa ngebayangin rasanya mau boker dan bisa langsung ngerti maksud gua.

Taktik ini engga orisinil dari gua sih. Gua belajar dari bukunya Sam Ladner.

Dia menulis tentang framework reporting kualitatif dengan “What is X” dan metafora/analogi gini :

“Even better than diagrams are metaphors. Using cohering metaphors provides stakeholders with a deep understanding of a thing, without the temptation to ask for deductive logic.”

“In their wonderful book on doing anthropological research, Denny and Sunderland suggest asking a simple question in inductive reporting: “What is X”?” Coffee, literally, is a hot brown liquid, they note, but metaphorically, coffee is a social lubricant, or a morning ritual, or a business tool. Metaphorical language is a good way to explain the hidden, social complexities of a thing and is cultural meaning.”

2. Koherensi dalam Cerita

Gua lumayan suka denger standup comedy karena aspek koherensi dari cerita mereka. Standup comedian kaya Trevor Noah gitu bisa cerita hal2 yang hiperbola dengan cepat dan lancar berpindah dari satu tema ke tema berikutnya. Gua yang denger jarang banget akan mempertanyakan kredibilitas dari cerita2 orang ini. Padahal kita tau kebanyakan dari cerita2 comedian ini ya pasti hiperbolik. Kenapa bisa gitu? Nurut gua ya karena aspek koherensi dari cerita-cerita mereka. Bit-bit mereka lancar dan mulus, berpindah dari satu objek ke objek berikutnya dengan deskripsi yang sangat vivid.

Nah koherensi ini sebenarnya adalah salah satu bentuk rigor (syarat validitas) dari sebuah riset kualitatif. Ketika “cerita” dari report kita itu koheren, nyambung, making sense, convincing, maka report kita bisa disebut rigor/valid. Koq keliatan lemah gitu? Masa aspek cerita yang masuk akal aja udah cukup jadi syarat validitas sebuah cerita? Gini..coba lu balik lagi ke paragraf pertama yang gua tulis di artikel ini. Di paragraf itu gua sedang membuat sebuah introduction dengan sekoheren mungkin. Waktu lu baca tadi, lu percaya ga sama cerita gua? Apakah lu mempertanyakan ide gua dengan berpikir “Ah emang kalau tangannya kotor maka bisa bikin happy?” atau “Ah emang International Woman day itu libur?” atau “Ah emang beneran Yoel habisin berjam-jam di coffee shop buat bikin laporan UXR? ga satu jam aja?”. Gua bertaruh jarang sih yang akan bertanya gitu. Kenapa kalian percaya gitu aja? Ya karena koherensi dari cerita itu. Akan berbeda kalau gua tulis introductionnya seperti ini:

“Satu bulan terakhir gua happy karena tangan gua kotor. Gua liburan malah kerja berjam-jam di coffee shop. Udah lama gua ga bikin laporan UXR kualitatif di International Woman’s day.”

Lu pasti bingung. “Ini orang ngomong apa?”. lol

Clifford Geertz juga bilang gini:

“Stories are core to the ethnographic endeavor. Thick description is the core of culture itself. Telling stories is how you cohere thick description

Misalnya untuk menjelaskan betapa pentingnya users itu harus dibantu untuk first transaction gua memakai tiga cerita berikut: 1. Cerita tentang bahwa ada orang2 yang merasa canggung untuk masuk ke coffee shop 2. Cerita tentang bahwa kita biasanya ingat akan pengalaman mewah/atas pertama kita 3. Cerita tentang bagaimana buat nyokap gua, bisa pesan goCar itu sesuatu yang spesial.

Ketiga cerita itu gua pakai secara koheren untuk menjelaskan pentingnya being handheld for the first experience. Lalu apakah koherensi ini cukup dijadikan validitas? Cukup ketika kita berhasil convincing audience kita. Di banyak material yang kasih kriteria2 rigor dari qualitative research, biasanya akan selalu ada konsep “reflectivity” dan “relevancy”. Atau dengan kata lain, apakah hasil kita bikin pendengarnya bisa langsung nyambung, percaya, dan bahkan berefleksi? Kalau iya berarti report kita cukup rigor. Karena untuk mendapatkan objektif itu, selalu dibutuhkan koherensi cerita dari thick description kita.

3. Social Theory

Aspek yang ketiga paling straightforward, gua ambil dari bukunya Anthro-vision oleh Gillian Tett. Di buku itu dia bilang bahwa untuk menjelaskan atau melaporkan sebuah fenomena kita bisa pakai social theory yang udah ada.

Dua slide di atas gua pakai untuk meminjam otoritas professor2 ini dan tentunya untuk kasih kerangka penjelasan dari ide yang mau kita lontarkan atau fenomena yang mau kita laporkan.

Dari tiga jurus di atas mana yang paling sering lu pakai kalau lagi bikin laporan UX?

Cheers,

Yoel

(Beneran happy kemarin waktu susun deck 80-an halaman. Terakhir kali bikin laporan UXR gitu mungkin di tahun 2018. Haha)

--

--

Yoel Sumitro
Yoel Sumitro

Written by Yoel Sumitro

Senior Director, Product Design at Delivery Hero I Ex-tiket.com, Bukalapak, Uber, adidas I Berlin I Tweet @ SumitroYoel

Responses (2)