Theoria, Praxis, dan Poeisis

Yoel Sumitro
2 min readOct 6, 2021

--

Dunia design twitter satu minggu terakhir lagi ribut tentang semantik/definisi beberapa terminologi dalam design (UX Design, UI, Information Architect, Service Design, dll). Ada yang teriak “UX Designer sama Service Designer itu beda?”. Ada juga yang teriak “Ngapain sih ngomongin semantik definisi? Udah cukup. Mending kita ngomongin impact aja yang bisa kita kasih”.

Gw sendiri lebih cenderung ke kutub yang terakhir. Gw ga terlalu care sama semantik dan pengennya kita ngomongin hal-hal yang lebih significant aja seperti ethical design.

Tapi kemarin di salah satu all hands design, gw lagi bahas tentang 3 pembagian aktivitas dari Aristotle. Dan dari refleksi tentang konsep itu, gw jadi memikirkan ulang posisi gw dalam pentingnya semantik ini.

Aristotle membagi aktivitas manusia jadi 3 hal: theoria, praxis, dan poiesis.

  1. Theoria -> teori. End goalnya adalah mencari kebenaran. Contohnya matematika -> tujuan akhirnya mencari kebenaran 1 + 1 = 2
  2. Praxis -> praktek, metode. End goalnya adalah aktivitas itu sendiri. Contohnya menyanyi atau olahraga -> tujuan akhirnya ya aktivitas menyanyi itu sendiri.
  3. Poeisis -> production. End goalnya adalah produk atau outcome. Contohnya crafting meja. Tujuan akhirnya ya meja itu sendiri.

Nah ketiga hal di atas ga ada yang lebih benar atau lebih bagus. Ketika orang membuat meja, teori atau metodenya ya terserah se-ngaco apa. Yang penting mejanya jadi. Kalau teori juga gt, mau ada filsuf membuat teori tentang rasionalitas itu membutuhkan judgement, ya bodo amat kalau teori itu bisa membangun praktek atau outcome real atau engga.

Kalau di dunia design, theoria ini contohnya HCI academician dan orang2 di twitter yang ngotot pengen ada naming dan classification UX terms sesuai ISO. Praxis itu mungkin anak2 bootcamp. Dan Poeisis itu anak2 dribble dan pragmatis. Yang mana yang lebih benar?

Ya mungkin ketiga-tiganya punya porsi dan perannya masing-masing.

Walaupun ada pendapat lain tentang menggabungkan ketiga hal di atas. Paulo Freire adalah salah satunya. Dia mendefinisikan Praxis sebagai lingkaran theory, refleksi, dan aksi (produksi).

Ketiganya tidak terpisahkan dan saling membangun satu sama lain. Teori Praxis nya Freire ini juga yang gw lebih percaya sebenernya. Jadi mungkin ke depannya gw akan belajar untuk ga cursing kedua extreme (theoria dan poeisis), tapi berusaha cari sinergi antara mereka berdua dengan konsep Praxisnya Freire.

Yoel

(Dulu pernah ikut kelas yang bahas buku Pedagogy of the Opressed-nya Paulo Freire yang di-apply ke design education)

--

--

Yoel Sumitro
Yoel Sumitro

Written by Yoel Sumitro

Senior Director, Product Design at Delivery Hero I Ex-tiket.com, Bukalapak, Uber, adidas I Berlin I Tweet @ SumitroYoel

No responses yet