Derita seorang Maximizer dan UX Designer
Di bukunya “the Paradox of Choice”, Barry Schwartz tulis betapa agonizing-nya hidup kita sebagai manusia dengan (ironisnya) semakin banyaknya pilihan dalam hidup kita. Pilihan hidup mau kerja apa, pilihan mau order pesan makanan GrabFood apa, pilihan mau one-night-stand dengan tinder profile yang mana, pilihan mau pakai baju apa, pilihan mau pilih kartu kredit yang mana, pilihan mau investasi keuangan lewat jalur mana. Semua pilihan-pilihan ini, Barry Schwartz bilang justru bisa membuat hidup kita menjadi seorang “Maximizer” — indecisive person yang menghabiskan banyak sekali resource sebelum membuat sebuah keputusan. Dan ujung-ujungnya, seorang maximizer bisa lebih sering mengalami kesedihan, penyesalan, dan bahkan depresi. Quoting him here: “Our experience of choice as a burden rather than a privilege is not a simple phenomenon. Rather it is the result of a complex interaction among many psychological processes that permeate our culture, including rising expectations, awareness of opportunity costs, aversion to trade-offs, adaptation, regret, self-blame, the tendency to engage in social comparisons, and maximizing.”
Di sisi lain coba kita lihat konsep Plato tentang “dignity of work”. Pandangan humanistik Plato tentang pekerjaan adalah bahwa bekerja adalah merendahkan martabat kita. He considered work to demean man to the level of animals. Menjadi manusia sejati berarti terbebaskan dari derita bekerja dan bisa berfokus ke aktivitas “berpikir”. Semua yang berhubungan dengan pekerjaan tangan adalah rendah martabatnya. Sedangkan semua yang berhubungan dengan aktivitas “hanya” berpikir adalah tinggi martabatnya. Makanya masyarakat kita memandang tinggi pekerjaan-pekerjaan yang “hanya” berpikir seperti professor, periset, konsultan manajemen, bankir investasi, dan designer! Di atas pekerjaan-pekerjaan seperti nelayan, petani, pengrajin, koki, dll. Padahal ada satu kekurangan besar dari pekerjaan2 “berpikir” ini: kita tidak bisa melihat secara langsung hasil dan impact dari pekerjaan kita. Tidak seperti nelayan yang bisa melihat ikan-ikan hasil tangkapan mereka. Apa coba impact dari pekerjaan seorang UX Researcher? Lebih banyak lagi tumpukan file google slide di cloud? Kita bisa berpikir bahwa kita hanyalah sebuah “a cog in the machine”.
Konsep yang ketiga adalah perasaan bersalah kita sebagai UX designer ketika kita memakai trik2 behavior economic di halaman-halaman design kita: anchoring, framing, scarcity, loss aversion, satisficing, etc. Kita berasa mempermainkan psikologi si user untuk kepentingan bisnis perusahaan kita. The last two situations convey one of the agonies of being a UX designer/researcher.
Nah, gimana kalau kita gabungkan tiga situasi di atas: (1) konsep betapa misery-nya hidup manusia dengan jumlah pilihan yang banyak (2) perasaan pekerjaan kita sebagai UX researcher/designer yang tidak bisa memberikan dampak secara langsung (3) perasaan kadang bersalah kita akan teknik behavior economic yang kita pakai di desain2 kita.
1+2+3 = Voila! Menurut gw tiga konsep ini bisa sedikit memberi kelegaan akan pekerjaan kita sebagai UX Designer/Researcher. Our application of behaviour economics theory actually help our users to make decisions. We help them to be a satisficer instead of experiencing the agony of being a maximizer. Our design and research work are indeed impactful. So…worry not my friends. :)