Pentingnya Exposure

Yoel Sumitro
3 min readNov 17, 2023

--

Setiap kali orang ada tanya ke gw tentang privilege apa yang “I wish I could get it” , gw selalu jawab “Exposure”.

Maksudnya “exposure” itu gimana? Gini ceritanya. Dari sejak kuliah di ITB sampai S2 di Seattle, gw tu jarang banget ngotot ambisi belajar. Biasanya selalu “yang penting lewatin bar average”, ga jelek2 banget tapi ga sampai ambi kaya gimana.

Sampai suatu saat, di tahun 2012 gw ada visit kampus Stanford. Entah kenapa, padahal cuman kena “exposure” bangunan fisik kampus, tapi gw beneran merasa efek semangat dari pengalaman terkena paparan itu. Rasanya seperti ketemu satu target hidup yang seru banget untuk dikejar. Tapi ya ga praktis aja waktu itu untuk berpikir kuliah lagi. Di waktu itu terbersit satu pikiran “misalin dulu waktu SMA gw ada privilege untuk berkunjung ke kampus Stanford, mungkin gw akan gila2an kuliah, belajar, atau melakukan segala sesuatu untuk bisa kuliah di sana”. Kekuatan dari sebuah exposure.

Titik pengalaman “exposure” yang cukup penting yang kedua gw alami di tahun 2016 waktu gw bekerja di Uber. Entah kenapa di situ gw beneran merasa ketemu (terkena “exposure” dengan) orang2 hebat yang kerja di sana. Jadinya pengalaman itu yang lebih banyak mengajar dan menginspirasi gw daripada kuliah 2 tahun gw di U of Washington mungkin.

Gimana sekarang? Selama 1 tahun lebih gw kerja di Berlin ini, pengalaman kerja gw lumayan chill. Gw lumayan menikmati hidup slow di Eropa. Gw kehilangan excitement dari “exposure” ini.

Sampai minggu lalu, akhirnya gw mencicipi excitement dari “exposure” ini lagi waktu gw ikut Leading Design Conference 2023 di London.

Di sana, gw jadi disadarkan lagi bahwa ada banyak “Stanford-Stanford” di dunia UX/design leadership yang bisa gw kejar atau coba cicipi. Jadi terpercik lagi api semangatnya karena melihat betapa banyak dent yang bisa dibuat di dunia UX/product design ini.

Di conference itu gw berpikir “I wish “exposure” ini bisa dicicipi oleh semua product designer, UX researcher, content designer, design leader di Indonesia juga. Gimana yah caranya?”. Karena gw sadar kalau dapetin exposure seperti itu ga gampang. Bisa semahal tiket pesawat ke London atau sesusah bisa ketrima kerja di FAANG.

Makanya gw berpikir komunitas UX/design itu walaupun se-cringe apapun sebenernya masih ada perannya -> untuk memberikan privilege exposure lebih merata ke semua orang. Sesimple dulu misalnya Bukalapak buat UX Research conference yang undang UX Researcher dari Uber dan Google, itu tim design Bukalapak sedang berusaha membagi exposure itu ke lebih banyak orang. UX Researcher yang one man team di startup kecil pun jadi bisa tau “Ooo kaya gitu yah conducting analogous research. Seru juga. Gw mau cobain belajar metode itu ah.”

Exposure ini juga sebenernya bisa disebarkan lewat mentoring atau tulisan. Misalin ada satu anak intern bisa have 1o1 dengan Devena, designer di Amsterdam, nurut gw si anak ini bisa mencicipi “exposure” tadi.

Sayangnya beberapa tahun terakhir ini, gw melihat kegiatan2 citizenship di bidang design seperti ini mulai agak suam2 kuku. Seperti tidak pernah pulih dibandingkan dengan masa-masa pre-covid.

Kalau di masa-masa lalu kita pernah mendapatkan privilese “exposure” ini, I hope kita bisa pay it forward ke lebih banyak orang.

Yoel

(Salah satu exposure yang gw suka sombongin: gw dulu setahunan lumayan kerja intensed bareng Yuhki Yamashita waktu dia jadi Group PM untuk app driver di Uber. Yes that Yuhki, CPOnya Figma sekarang. 😎)

--

--

Yoel Sumitro
Yoel Sumitro

Written by Yoel Sumitro

Senior Director, Product Design at Delivery Hero I Ex-tiket.com, Bukalapak, Uber, adidas I Berlin I Tweet @ SumitroYoel

Responses (2)