Melatih Craftsmanship sebagai Periset
Di titik extreme satunya dari impostor syndrome adalah Dunning-Kruger effect. Berasa overconfidence akan kemampuannya. Berasa udah jago padahal skill craftsmanshipnya as a designer and researcher masih ngaco. Salah satu cara untuk melawan hal ini buat gw adalah dengan melatih craftsmanship gw sebagai UX Researcher atau UX Designer sehari-hari — secara ringan. Gw akan coba kasih dua kebiasaan yang biasa gw lakukan untuk melatih craftsmanship gw sebagai researcher.
Kebiasaan yang pertama untuk melatih 2 teknik interview ini: diam dan percabangan. Yang pernah riset pasti pernah menggunakan 2 teknik ini. Kita “berdansa” dengan participant dengan memakai silence kita. Gw suka liat kalau anak intern gw dulu awal-awal belajar interview, biasanya setelah menanyakan satu pertanyaan dia akan melanjutkan ke pertanyaan berikutnya. “Ok pak, ini pertanyaan yang kedua…”. Padahal di banyak waktu, lebih baik kita diam dan menunggu “paragraph” kedua keluar dari sang participant.
Tentang cabang, contohnya seperti ini. Misalin seorang driver Uber cerita “Iya mas, Uber ini ga kaya temen-temen saya di Gojek. Mereka bisa narik duit tiap hari. Saya kadang uangnya ga cukup buat beli bensin. Apalagi buat bayar cicilan”. Lalu kita sebagai researcher akan menimpali seperti apa? Ada paling tidak 5 cabang yang bisa gw pilih atau konfirmasi atau klarifikasi dari jawaban itu (yang teksnya bold). Dan seorang researcher, sesuai dengan craftsmanshipnya, akan berusaha untuk berdansa dengan cabang-cabang ini.
Nah, gimana cara gw melatih 2 otot ini sehari-hari? Gw paling engga melakukannya minimal seminggu sekali: waktu gw pulang dari acara minum di Jumat malam. Lebih banyak gw pulang naik ride-sharing daripada mobil pribadi. Dan ketika gw naik Gojek, gw punya pertanyaan opening yang selalu sama “Pak, sering ga jemput orang-orang mabuk gini? Kenapa yah pak orang itu suka mabuk-mabuk?”. It’s a simple question tapi yang menarik branchingnya bisa kemana-mana. Dan ini topik yang lumayan tricky karena ada aspek moral, agama, dan bahkan ekonomi, jadi otot silencenya juga lumayan dilatih. Dengan melakukannya konsisten tiap minggu, gw bisa terus melatih dua otot penting dari teknik interview ini: silence dan percabangan.
Kebiasaan yang kedua untuk melatih teknik contrasting dan abductive reasoning. Teknik contrasting itu simple, kita membandingkan behaviour orang, waktu, tempat, atau berbagai macam variable lainnya untuk menyusun sebuah mental model. Contohnya waktu interview, ketika kita nanya “Pak, boleh ceritain kebiasaan bapak menyetir di hari libur dan di hari weekday?” -> ini kita sedang memakai variable time contrast. Nah gw lumayan suka melatih otot contrasting ini sembari gw ngegym biasanya.
Gw sendiri hampir ga pernah nonton acara TV. Tapi somehow gym apartement selalu pilih saluran TV yang isinya acara2 unik. Jadi sambil ngegym, gw akan menonton tv itu dan otak gw biasanya akan mengembara. Menganalisis dan contrasting. Pertanyaannya juga selalu sama “Kenapa orang bisa suka acara ini? Neednya apa yang berusaha dipenuhi?”. Gw coba bandingkan dengan mental model gw, karena biasanya gw selalu geleng-geleng kepala ketika lihat acara-acara TV itu (you know what I am talking about: acara-acara talk show, channel-channel selebritis, and reality show itu). Contrasting my needs dengan target audience dari acara-acara itu. Dengan latihan ini, gw melatih craftsmanship gw juga: contrasting dan abductive reasoning.
Dua contoh di atas adalah cara gw paling ringan untuk melatih craftsmanship gw sebagai researcher. Gimana kalau melatih otot designer secara ringan? Tunggu coretan berikutnya!
Yoel (Kalau suka minum di Senoparty, cobain deh trick pertama. It is a very enjoyable exercise to do)