Ketika Laporan Riset Masuk Tong Sampah

Yoel Sumitro
3 min readJan 16, 2021

Waktu itu ada 6 orang Research Manager/ Senior Researcher yang lagi berdiskusi secara intensed di sebuah ruang meeting di Bukalapak. Kita lagi ngomongin satu hal “Gimana caranya mengatasi masalah researcher kita yang down atau stress karena ga ada follow up sama sekali ke hasil riset mereka.” Atau dengan kata lain, hasil riset mereka cuman masuk ke tong sampah digital.

Karena gw dulu pernah jadi researcher, perasaan ini lumayan familiar buat gw. Ada waktunya dimana gw mempertanyakan value gw sebagai seorang UX researcher. Buat UX designer, at least hasil kerja mereka jelas: design yang sebagian besar bisa dipakai oleh end user. Sedangkan buat UX Researcher? Hasil kerja kita adalah insight dan yang paling tangible adalah sebuah laporan riset. Ada waktunya gw jadi super haus akan pengakuan dari product team gw. Karena lebih susah. untukmenghasilkan insight yang actionable ke sisi produk daripada insight yang actionable ke sisi bisnis/operation.

Lalu bagaimana cara kita menyikapi challenge tentang persepsi ini? Ada 3 solusi atau kemungkinan yang gw tau.

  • Yang pertama adalah dari kualitas riset itu sendiri. Jangan2 hasil riset yang kita buat punya banyak kekurangan. Ada 3 kemungkinan biasanya: a. Mengenai rigor risetnya yang kurang meyakinkan (kualitas pertanyaan yang kurang oke, metode yang dipakai salah, etc). B. Terkadang rigor risetnya sudah bagus tapi ada kekurangan dari cara menyampaikan hasil riset itu. C. Atau bisa juga tidak tau deliverable seperti apa yang dibutuhkan oleh stakeholders: apakah hanya sebatas insight buat memberi inspirasi? Apakah harus actionable sampai ke level design? Apakah harus bisa memberikan insight ke market dan product? Atau dengan kata lain, kita sudah menjawab pertanyaan “why” tapi kita tidak menjawab pertanyaan “so what” di riset kita. Nah ketiga kemungkinan ini adalah masalah tactical yang menurut gw lebih mudah dipecahkan.
  • Yang kedua ada hubungannya dengan mindset yang salah tentang expectation. Menurut gw kalau UX Researcher berharap bahwa semua (atau bahkan sebagian besar) hasil risetnya akan selalu diaplikasikan ke produk oleh stakeholder kita, pasti kita bakal depresi. Expectation atau mindset ini menurut gw ga masuk akal. Dunia belum seperfect itu dimana cost untuk mengaplikasi sebuah insight ke product belum bisa murah dan cepat. Karena itu perlu ada sebuah expectation bahwa memang dari 10 riset yang kita lakukan, mungkin hanya 2 yang benar-benar secara gamblang dibawa insightnya ke product development. Dan juga gw percaya, di banyak kasus, kalau kita ga melakukan 8 riset yang ga kemana-mana itu, mungkin-mungkin kita ga berhasil dapetin 2 riset yang briliant itu.
  • Yang ketiga ada hubungan dengan rantai efek dari sebuah insight. Kadang kita ga tau sejauh mana perjalanan sebuah insight. Sebuah insight bisa langsung teraplikasikan ke sebuah produk. Insight lain mungkin melalui perjalanan yang lebih panjang dulu: bikin empati ke product managernya, spark discussion antara designer dan engineer, menginspirasi hasil riset yang lain, dll. Ketika kita menemukan trail dari insight kecil yang kita hasilkan, ga ada salahnya untuk own and celebrate that thing.

Jadi 3 hal di atas yang gw bisa pikirkan berdasarkan pengalaman gw yang hopefully bikin pikiran UX Researcher lebih bright. Masalah ini cukup common koq di antara Researcher dan bercerita ke UX Researcher lain kadang juga bisa membantu. Karena kita pasti pernah merasakan perasaan down karena mempertanyakan value kita itu,

Yoel

(Suka sering galau dan life crisis karena kerjaan juga koq. )

--

--

Yoel Sumitro

Senior Director, Product Design at Delivery Hero I Ex-tiket.com, Bukalapak, Uber, adidas I Berlin I Tweet @ SumitroYoel