Invisible Barriers
Minggu lalu gw ada satu sesi ADPlist dengan seorang admin yang sedang berusaha untuk switch carrier ke bidang product design. Pertanyaannya “Ada tips and trick ga untuk saya bisa menjadi designer?”
Biasanya, dihadapkan dengan pertanyaan2 mentoring, gw dengan cepat akan bisa memberikan jawaban. Tapi kali ini gw tergugup. Setelah beberapa detik akhirnya gw bilang “Mungkin cara pertama adalah cari magang dulu”. Jawaban itu sebenernya paling masuk akal menurut gw. Dengan magang, orang-orang ini akan punya real working experience yang nantinya bisa dipakai untuk apply ke full time designer job. “Iya kak. Saya sedang apply2 tempat magang sambil ikut online bootcamp class sekarang.” jawab orang itu.
Setelah sesi itu selesai, entah kenapa pikiran gw lumayan terganggu. Lebih ke perasaan despair. Gw pun coba mulai pikir2 alasannya.
Gw temukan ada satu -> sebenernya gw pesimis orang tadi bisa masuk ke dunia design dari backgroundnya yang sebagai seorang admin kantor sekarang.
Pesimis. Karena gw melihat ada puluhan orang lainyang gw tau punya privilese lebih baik dari si admin tersebut, tapi tetap susah banget buat get their first full time job sebagai designer. “Apa lagi orang ini?”. Jadi rasa ga enak ini timbul karena campuran rasa pesimis, despair, terganggu, dan dilemma “gw tadi harusnya kasih tau ga yah kalau chance dia buat switch career ke UX designer itu kecil banget”. Gw berasa marah karena memang ada “invisible barrier” di dunia design ini.
Invisible barrier ini macem2 di dunia design Indonesia:
1. Ga lulus S1 dari uni yang terkenal
2. Ga berbicara dengan gaya bahasa yang familiar
3. Ga pernah kerja/magang di tim2 design yang familiar namanya
4. Ga menggunakan linggo, metode yang familiar bagi para hiring manager
5. Ga punya kesempatan untuk bekerja sebagai designer/researcher sebelumnya
6. Ga kenal dengan “orang2 design” yang jadi hiring manager, dll
7. Umur, jenis kelamin, suku, agama, logat bahasa Indonesia, dsb.
Gw lumayan bisa relate dengan perasaan stuck dengan invisible barrier ini. Karena gw juga mengalaminya. Invisible barrier gw alami karena:
1. Paspor gw warna ijo gambar burung angkat tangan
2. Gw ga ngomong Inggris cas cis cus dengan neutral accent
3. Gw ga bekerja di perusahaan yang terkenal secara Internasional
4. Hiring manager di luar kaga familiar dengan “Indonesia”, “ITB”, atau “tiket.com”.
Invisible barrier ini yang bikin gw lumayan struggle ketika gw mau apply pekerjaan di top tech companies di selama karier gw. Itulah yang mungkin bikin gw bisa relate dengan “si admin”. Karena gw tau rasanya stuck, despair, dan mentok karena glass ceiling di atas gw (kita).
One day kalau gw tau caranya gimana buat smash these glass ceilings, I am gonna share more. Gw bakal bisa cerita sama “admin2” lainnya how to smash the glass ceilings. But for now, I haven’t figured it out yet.
Yoel
(Do you have a glass ceiling above you too?)