Gate Keeping dalam Dunia UX Design / Research

Yoel Sumitro
3 min readJan 24, 2022

Gate keeping dalam dunia design suka kerasa di percakapan di Twitter atau di percakapan antar hiring manager di sebuah perusahaan.

Quotes nya seperti ini:

“Kandidat ini kebanyakan backgroundnya di market research, kayanya ga akan cocok jadi UX Researcher”

“UX Researcher di tempat kita over qualified semua sih, minimal PhD” (Ini gw pernah denger beneran. lol)

“Ini orang mikirinnya cuman UI aja, UXnya ga dipikirin. Pasti kerjaan cuman bikin2 design di dribble doang”

“Ini anak keluaran bootcamp design nih pasti. Ga jelas teori2 design yang dipakai.”

Nah celetukan2 di atas itu sebenernya turunan dari filosofi yang disebut sebagai Positivisme. Positivisme adalah filosofi yang berdasarkan empirisme, yang menyatakan bahwa ilmu pasti/ sains (science) sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar. Segala sesuatu yang diluar sumber empiris: insting, metafisika, ratio, teologia, abduction akan dicoret kebenarannya.

Positivisme juga menurunkan dikotomi antara teori dan praktek. Dikotomi antara universitas dan politeknik. Universitas akan berfokus pada teori yang dihasilkan oleh metode empiris dan politeknik akan berfokus pada aplikasi dari teori-teori tersebut.

Orang yang dilatih dari universitas, kelasnya lebih tinggi daripada orang yang dilatih di politeknik karena mereka lebih dekat dengan ilmu yang lebih mendasar dan teoritikal.

Orang yang di lapangan dituntut untuk mengejawantahkan apa yang telah didapatkan di kampus.

Dari hubungan antara teori dan praktek inilah yang menjadi dasar utama gate keeping di dunia design itu. Ada sebuah kesepakatan bahwa untuk menjadi profesional di bidang UX design atau UX research, orang akan lebih baik atau harus dekat dengan sains di bidang2 tersebut. Entah dalam bentuk kredential yang formal (Bachelor dalam Interaction Design, Master dalam HCI atau PhD dalam Cognitive Science) atau otoritas ilmu (Fitt’s Law, Statistics methods, etc).

Cara menyelesaikan masalah dengan filosofi positivism ini sering disebut juga sebagai “Technical Rationality”. Dalam tehcnical rationalily, tujuan atau masalah yang ingin dipecahkan sudahlah cukup terbentuk. Untuk itu profesional akan mengaplikasikan teori baku untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Pertanyaan berikutnya apakah UX designer atau researcher juga merupakan profesi yang termasuk dalam lingkup “technical rationality”. Filsuf design modern, Stolterman, berpendapat bahwa design tidak bisa mengikuti cara problem solving ini. Technical rationality tidak terlalu berkutik pada masalah yang ambigu, penuh dengan kejutan, tidak teratur, dan khusus. Di masalah2 yang ambigu seperti itu, Stolterman berpendapat bahwa teori umum yang tidak mengikat dan metode/framework yang simpel justru lebih bermanfaat.

Pemikir lainnya seperti John Dewey mengatakan bahwa praktisi (seperti designer/ ux researcher) tidak mengandalkan teori ketika mereka praktek. Namun mereka mengandalkan intuisi atau artistry atau knowing-in-action. Sebuah tacit knowledge yang timbul dari banyaknya jam terbang sebuah aktivitas.

Senada dengan John Dewey, Donald Schoen juga mengkritik dikotomi teori dan praktek di dunia profesional dan menunjukan ketidakberdayaan technical rationality/ scientific rigor bagi masalah yang praktisi seperti designer/researcher temuin dalam hari-harinya. Schoen mengajukan sebuah rigor baru yang diistilahkan sebagai “reflection-in-action”.

Lalu kesimpulannya apa? Gate keeping di dunia UX design/ UX research yang berdasarkan background knowledge sebenarnya tidak relevan. Kenapa? Ya karena di dunia UXD/UXR rigor yang dipakai tidaklah berdasarkan sains/technical rationality/positivism. Rigor yang dipakai cukuplah unik – berdasarkan aktivitas doing (Dewey), reflection (Schoen), atau overarching theories yang tidak mengikat/metode yang simpel (Stolterman). Tiga bentuk rigor di atas bisa didapatkan semua orang dengan background keilmuan apapun.

Yoel

(Mau gimanapun gw tetep suka flexing my Master’s in HCI jg sih tapi. lol)

--

--

Yoel Sumitro

Senior Director, Product Design at Delivery Hero I Ex-tiket.com, Bukalapak, Uber, adidas I Berlin I Tweet @ SumitroYoel