Entitlement
Gua ada 3 cerita entitlement dalam 3 hari terakhir ini. Ketiganya punya akhir cerita yang berbeda.
- Senior Designer II entitled buat jadi Senior Design Manager
Ada satu senior designer II yg tiba2 kasih pitch ke gua kalau dia layak untuk isi posisi Senior Design Manager yang gua lagi hiring.
Ngotot banget pokoknya. Gua uda bilang, kalau mau cobain jadi Design Manager dulu mungkin gua bisa usahain. Tapi ga mungkin kalau tanpa pengalaman, tiba2 langsung berharap jadi SENIOR design manager.
Sangking ngototnya, orang ini berkampanye ke leader2 lainnya. Dan tentu saja leader2 lainnya pada geleng2 kepala and ngomongin anak ini ke gua.
2. UXR manager entitled akan posisinya
Perusahaan gua kemarin abis ngalamin reorganization. Mirip lah sama company2 lainnya kaya Meta, Amazon gt. Salah satu efeknya, ada satu UXR manager di bawah gua, yg harus gua minta buat jadi Individual Contributor lagi (ga leading team lagi).
Anaknya ga terima dan lumayan bitter. Dia merasa entitled kalau posisi managerial itu harus disediain sama company. Even kalau ada reorg pun, gimana caranya ya harus disediain ke doi.
Again, dia escalate ke tim people, ke boss2 gua. Dan tentu saja pada geleng2 kepala semua juga.
3. UX Researcher entitled untuk minta challenge lebih lagi
Ada satu UX Researcher yang bosen ama kerjaannya. Trus dia nulis 2 halaman yang isinya 3 request dia: minta naik gaji, minta cobain manage dua orang, minta tambahan scope dan complexity dari kerjaannya.
Ketiga requestnya di approve semua.
Kenapa tiga kasus di atas bisa berbeda hasilnya? Padahal sama2 ada konsep entitlement di sana.
Menurut gua ada 2 skill yang dipunyai orang ketiga yang ga dipunyai dua orang pertama: reading the room dan reflectivity.
Orang pertama jelas bodoh dalam membaca reading the room. Ya masak dia ga bisa mengira2 tabungan trust dan tabungan impact/performance/skill dia di hadapan orang2. Itu kaya gua tiba2 bilang ke CEO Delivery Hero “Hey Niklas, I think I deserve to be a CPO”. Ya yang ada orang malah mikir lu jelek banget kemampuan baca situasinya.
Orang kedua lebih lemah di bidang reflectivitynya. Mungkin entitlement dia valid. Orang dia udah jadi manager, masa di “downgrade” jadi individual contributor lagi. Tapi dunia emang ga fair. Dan kemampuan refleksi kita bisa bikin kita lebih wise untuk bereaksi. Kalau gua jadi dia (although this is easier to saying it than doing it), ya gua akan coba refleksi bahwa keadaan lagi paceklik gini. Ya mungkin coba nrimo dulu sambil lihat2 ke depannya gimana – ga buru2 burning bridges karena udah bitter.
Kasus ketiga keliatannya mirip. Yang bedain adalah orang ini udah punya tabungan trust, tabungan skill, tabungan impact. Dan hanya orang yang jago reading the room dan skill reflectionnya oke yang bisa tahu bahwa tabungan2 di atas sudah cukup untuk demanding sesuatu dari perasaan entitlementnya.
Yoel
(Perasaan entitled dari timnya itu salah satu hal yang manager2 paling struggle to deal with)