Dialektika dalam Design
Ada tiga hal/peristiwa yang ingin gw ceritain malem ini. At the end of this writing, gw akan coba sambungin ketiga hal itu.
Yang Nomer 1:
Hari ini gw browsing facebook group UXID, dan gw lumayan kaget ketika melihat sebuat iklan tentang kelas workshop UI. Kagetnya kaya…gila…semua hal yang gw tulis di artikel ini tentang budaya instan dan crafstmanship literally di embodied di iklan itu. Judul iklannya aja “Workshop 4 hari Jago UI Design”. Gila ga bro. 4 hari man! Bisa jago UI… Dan persis loh yang gw tulis tentang pake carrot gaji buat kasih iming2 palsu, itu dipake juga. Kali ini pake info gaji designer di the US. Ya elah bro. Do you want these people to drink the kool aid??
Okay. Tapi gw mungkin terlalu judging. I tried to give the poster the benefit of the doubt. Mungkin si trainernya beneran sejago master Oogway yang beneran bisa bikin orang jago dalam 4 hari.
But then, I saw another posting from the poster about his UI exploration….which I think is quite sh*tty. That should not be a UI exploration from a Jedi Master who can make people mastering UI in 4 days. Gw pikir kalau mau masturbasi with good visual design ala dribbblism, at least ya basic design logicnya tetep kecatered lah. But not this one. It looks like a masturbation tapi ga enak rasanya.
Yang Nomor 2:
Hari ini dua rekan kerja posting sebuah file di salah satu group slack. Isinya white paper tentang framework buat kita reviewing design. Gimana caranya revisit intention dari sebuah design. Gimana caranya explore different approach of a particular design (intention probing, visual style, color intention, content, composition, IA, hierarchy, and emphasis).
Ini salah satu screenshot dari whitepaper itu.
Gw lumayan suka dengan diskusi dan whitepaper itu karena vocabulary and probing questions yang dipakai. Mereka berada di dunia abstract untuk bagaimana design bisa solve problems. Sebuah dialektika design yang nurut gw cukup indah.
Yang nomer 3:
Di quarter pertama waktu gw kuliah Master di bidang UX, minimal gw harus ambil 10 credits. Waktu itu gw udah ambil 9 credits dan sisa 1 credit lagi. Yang biasanya 1 credit itu hanya research group – bukan kelas atau lab. Jadinya ada satu research group yang akhirnya gw ambil. Namanya “Praxis in Design : reflection for design pedagogy”.
Research groupnya cukup menarik. Setiap minggu ada sekitar 7 orangan yang kebanyakan mahasiswa PhD dan 1 professor (Jennifer Turns namamya, gw masih inget!), berkumpul di satu ruangan di basement kampus dan kita bahas 2 bab dari bukunya Paulo Freire, judulnya “Pedagogy of the Oppressed”.
Ada banyak interpretasi dari buku Freire ini yang kita diskusiin bareng. Selain dapetin knowledge tentang bagaimana proses pembelajaran untuk profesi design, ada 1 takeaway penting buat gw waktu itu: Setelah berumur 22 tahun, baru pertama kalinya gw mengalami kegiatan diskusi yang dalam – sebuah dialektika.
Kuliah S1 gw di computer science, jadinya, group riset itu = bagi2 tugas untuk mecahin sebuah masalah pemrograman. Tapi di 2 jam pertemuan setiap minggu itu gw belajar tentang bagaimana merumuskan masalah sendiri, memeriksa ide dan pikiran orang, bertukar interpretasi, dan menyusun solusi alternatif.
Sayangnya, hal yang gw alami itu adalah sebuah kemewahan. Bagi kebanyakan orang di generasi gw, yang mirip track record edukasinya sama gw (= ga belajar di sekolah international) pasti mengalami hal yang mirip. Di mana jarang sekali ada dialektika dalam proses pembelajaran kita. Isinya fokus ke hafalan atau jumping into solution (jawab pilihan ganda!).
Lalu apa hubungannya ketiga cerita di atas?
As simply as this: Nomer 1 adalah by product dari sistem edukasi kita yang tidak ideal (Nomer 3). Nomer 2 adalah salah satu cara untuk meningkatkan maturity bidang design di Indonesia, supaya ga berkutat di Nomer 1 terus. Dan untuk itu kita bisa coba dengan mulai belajar untuk berdialektika – Nomer 3.
Yoel (I know gw aga ngegas nulis tulisan ini. Sorry. And the book is really good btw. Taught me a lot about the concept of Praxis)