Dewi Lestari dan Dunia Design

Yoel Sumitro
2 min readJan 25, 2021

Sejak SMP gw nge-fans berat sama penulis Dewi Lestari — Dee. Dari baca buku pertama Supernovanya ketika gw masih duduk di sebuah SMP di Solo, hingga gw baca bukunya yang keenam, penutup series epik Supernovanya di sebuah apartemen di Nuremberg, Jerman.

Beberapa bulan lalu gw mengikutin kelas menulisnya. Uniknya, gw menemukan dua konsep menulis yang diajarkan dia kemarin, yang mirip banget dengan dunia design. Mungkin karena menulis fiksi dan mendesign adalah sama-sama aktivitas kreatif.

Konsep yang pertama adalah tentang craftsmanship. Ada seorang peserta kelas yang bertanya “Gimana caranya supaya bisa menghasilkan author voice yang unik. Style menulis yang unik dan bisa memikat pembaca”. Semua orang menunggu-nunggu formula rahasia dari Dewi Lestari. Tapi ini jawabannya “Untuk mempunyai author voice yang unik dan memikat pembaca, ditentukan oleh kepekaan dan selera estetis masing-masing penulis. Dan keduanya hanya bisa dilatih dengan eksplorasi”. Tadaaa! Lampu berpijar nongol di atas kepala gw. Ini mirip banget sama kerja kita sebagai designer!

Di suatu waktu ketika gw masih kerja di Bukalapak, Budi pernah agak emosi dan dia text gw “Gw benci deh. Anak-anak ini susah banget sih buat disuruh eksplorasi”. Gw lumayan mengerti ke-mangkel-an si Budi ini. Karena eksplorasi dan refleksi adalah satu-satunya cara untuk melatih intuisi design kita (“kepekaan” kalau pake istilahnya Dee). Karena itu, kita benar-benar paksa eksplorasi ini jadi habit anak-anak design kita. Hingga akhirnya di waktu itu, kita buat rule bahwa minimum harus ada 3 eksplorasi design sebelum minta design review.

Konsep kedua adalah tentang hubungan penulis — pembaca. Dee menceritakan sebuah konsep bahwa sebuah narasi akan hancur ketika tidak ada logika. Ketidakadaan logika disebabkan oleh putusnya rantai sebab akibat di plot cerita. Ini statement menarik yang dia katakan “Hanya pembaca lah yang paling bisa mendeteksi kalau sebuah plot cerita itu putus, tidak runtut, atau tidak berlogika”.

Dia bahkan menambahkan sebuah cerita dimana untuk mengetes plot cerita epic novelnya yang terakhir — Aromakarsa — . Ia mendongengkan cerita itu ke anak bungsunya yang masih berumur 8 tahun. Dan dari aktivitas itulah dia baru bisa mengetahui plot-plot mana yang putus. Another voila! Konsep ini mirip banget dengan user testing. Dimana dengan testing dengan pengguna lah kita bisa mendeteksi alur UX (plot cerita) yang ngaco. Waktu Dee kasih konsep “Hanya pembaca lah yang tau” gw lumayan susah menerima. Soalnya menurut gw penulis kan yang paling tau tentang dunia ceritanya. Masa harus butuh orang lain untuk stress-test plot ceritanya?

Se-counter-intuitive itu lah terkadang kita sebagai designer berpikirnya. “Kan gw yang mendesign halaman ini. Ya gw lah yang paling tau tentang design halaman ini. Ga perlu deh kayanya ditest sama pengguna”.

Sebenernya ada konsep ketiga dari Dee yang menurut gw ada padanannya di dunia design. Konsep tentang plot dan peristiwa — mirip dengan konsep UI dan alur UX. Tapi mungkin ini lain kali gw bisa tulis.

Yoel

(Seneng banget udah dua kali diajarin menulis sama penulis idola gw)

--

--

Yoel Sumitro

Senior Director, Product Design at Delivery Hero I Ex-tiket.com, Bukalapak, Uber, adidas I Berlin I Tweet @ SumitroYoel