Demokratisasi Riset

Yoel Sumitro
2 min readJan 28, 2021

--

Waktu gw jadi periset UX untuk wilayah Asia Pasific di Uber, request riset yang masuk ke gw selalu lebih banyak daripada waktu yang gw punya. Di bulan-bulan awal ketika gw masih menjawab “yes” ke permintaan-permintaan itu, badan gw ambyar. Dalam satu minggu gw bisa country hopping ke 3 negara cuman buat meriksa “bagaimana mitra Uber bisa daftar tanpa punya email”.

Untuk menjawab permasalahan badan gw yang ga mungkin dibelah jadi 16 ini, gw menemukan konsep yang gw sering dinamai sebagai demokratisasi riset.

Apa itu demokratisasi riset? Intinya gini: setiap orang bisa melakukan riset buat kita. Yes, setiap orang. Riset bukan lagi jadi kerjaan kaum elitist, so called “UX Researcher”. Melakukan riset emang ga mudah dan kualitas hasil riset tergantung dari perisetnya. Tapi terkadang ada tradeoff yang gw harus bikin.

Ada 2 hal penting dalam proses demokratisasi riset ini. Yang pertama gw harus bikin proses dan framework yang super jelas untuk melakukan riset dan analisis hasil risetnya. Dan yang kedua adalah gw harus bisa menentukan riset tactical mana yang bisa didemokratisasi.

Contohnya suatu ketika gw harus melakukan riset tentang Uber Taxi di Asia Pacific. Masalahnya “extreme users” di domain ini ada beberapa: Hongkong, Thailand, Singapore, Taiwan, dan Australia. Jadi apa yang gw lakukan? Gw cari 5 orang dari kantor lokal 5 negara ini, bikin workshop express tentang melakukan riset dalam 1 minggu buat mereka, dan buat framework conducting dan analisis hasil riset yang bener-bener idiot-proof buat mereka.

Hasilnya mungkin memang tidak seideal ketika gw bisa jadi amoeba dan melakukan 5 minggu riset dan 2 minggu analisis di 5 negara itu. Tapi dengan cara demokratisasi riset ini, gw bisa memotong waktu riset dari 7 minggu jadi 3 minggu aja (1 minggu workshop + 1 minggu riset + 1 minggu analisis hasil bersama) .

Selain itu, demokratisasi riset ini biasanya fokus ke metode-metode riset yang gampang. Usability testing misalkan. Karena metode ini sangat terstruktur dan task-based, lebih mudah untuk mengajarkan metode riset ini ke orang awam.

Ini demokratisasi riset ini sebenernya cukup kontroversial. Ada mazhab UX Researcher yang anti dengan praktek ini. Bahkan direktur UX Research gw di Uber dulu (Molly Stevens) adalah salah satu orang yang vocal dan anti banget dengan gerakan ini. Mungkin nanti gw bisa tulis reasoning dari mazhab yang berlawanan ini.

Yoel

(dalam beberapa tahun ke depan bisa kehilangan pekerjaannya)

--

--

Yoel Sumitro
Yoel Sumitro

Written by Yoel Sumitro

Senior Director, Product Design at Delivery Hero I Ex-tiket.com, Bukalapak, Uber, adidas I Berlin I Tweet @ SumitroYoel

No responses yet