Budaya Instan, Survivorship Bias, dan Craftsmanship

Yoel Sumitro
3 min readMay 14, 2020

--

Kadang kalau ada iklan-iklan tentang kelas UX Design atau UX Research gitu, gw suka iseng liatin. Kadang liatin syllabus nya juga. Mungkin karena dari dulu gw lumayan tertarik dengan dunia pendidikan ini. Tapi ada dua hal yang gw suka sedih (atau jengkel) dari kelas-kelas yang lagi menjamur ini: budaya instan dan survivorship bias.

Yang pertama tentang budaya instan. Menurut gw G*neral Ass*mbly lah yang pertama kali mempopulerkan budaya ini. Di tahun 2013an kalau ga salah, program belajar UX 12 minggu mereka memberi iming-iming bahwa seseorang dengan background marine engineering can become a UX Designer in 12 weeks. Fast forward 7 tahun berikutnya, trend ini mulai masuk ke Indonesia juga. Coba google “belajar UX” maka lu bakal nemuin kelas-kelas seperti ini. Dengan gaya jualan minyak ular “16 minggu belajar UX, dijamin dapat kerjaan!” “8 minggu belajar UX, bisa langsung handal jadi Researcher”.

Lebih parah lagi kadang kelas 12 weeks ini direduksi lagi menjadi workshop ataupun kelas online. Sebenarnya gw ga masalahin workshop, kelas online, atau program bootcampnya. Gw pun pernah berkali-kali mengajar workshop atau kelas-kelas ini. Tapi yang gw benci adalah mindset yang kadang dijual sama program-program ini: bahwa untuk menjadi a designer atau a researcher itu segampang setelah selesai ikutin kelas-kelas atau program itu. Ketika all classes udah diikutin, ada beberapa project yang bisa dijadiin portfolio, cuss langsung bisa apply and Voila! langsung jadi designer/ researcher. Coba deh buka salah satu web mereka dan bacain shameless plug apa yang mereka tulis di sana then you will know what I am talking about.

Yang kedua tentang survivorship bias. Survivorship bias itu gini: kita membuat keputusan atau kesimpulan hanya berdasarkan contoh para survivor yang sukses dan menafikan bahwa biasanya untuk satu orang yang sukses di bidang A, ada 11 orang lain yang mencoba juga dan gagal. Survivorship bias ini kadang berusaha dipakai oleh program-program ini juga. Yang pertama paling gampang dengan iming-iming gaji. Salah satu website program belajar UX yang pernah gw liat bahkan menampilkan range gaji bombastis yang bisa lu dapetin kalau lu jadi UX Designer. Cara yang kedua yang juga sama mudahnya adalah dengan menjual profile pengajarnya. Tulis aja Budi Tanrim, Head of Design at Bukalapak, ex-designer at Shopify. Sehingga para pembelajarnya secara ga langsung dikasih iming2 untuk bisa menjadi survivor seperti Budi itu. Bahaya survivorship bias ini adalah over optimis dan jadi lengah akan hal-hal yang bisa membuat orang-orang itu gagal menjadi survivor.

Ini ironisnya: budaya instan dan efek survivorship bias berada di kutub yang sangat berlawanan dari roh seorang designer: craftsmanship.

Bagaiman seorang designer melatih crafstmanshipnya? Dulu waktu gw kuliah, ada sebuah riset group yang menyelediki tentang gimana cara pembelajaran yang paling efektif untuk para crafter (designer, painter, sculptor, artist, architect, writer, dsb). Hasilnya mereka kembali ke sistem di Zaman Kegelapan dulu yang berhasil menghasilkan crafter-crafter hebat seperti Da Vinci dan Michaelangelo. Ada dua sistemnya: sistem guild dan sistem master-apprentice.

Sistem guild itu seperti studio zaman sekarang. Dimana para designer antara ngerjain hal yang sama bareng atau saling mengkritik satu sama lain. Sistem master-apprentice ini seperti sistem magang atau mentoring zaman sekarang, tapi mungkin dengan durasi dan intensitas yang lebih. Salah satu negara yang masih memakai sistem pendidikan ini adalah Jerman. Thus they can craft superior products like BMW, Audi, Benz, Faber Castle, adidas, etc.

Nah, again sayangnya roh kedua sistem ini exactly the opposite of budaya instan dan survivorship bias yang gw ceritain di atas tadi. Exactly mindset yang berlawanan dari snake oil yang berusaha dijual oleh program, kelas, bootcamp, dan workshop “belajar menjadi researcher dalam 1 hari” itu.

Yoel

(I did actually interview a Marine Engineering graduate from NTU who took a G*neral Ass*mbly UX program. He came with his pretty portfolio and as expected…super shitty craftsmanship.…)

--

--

Yoel Sumitro
Yoel Sumitro

Written by Yoel Sumitro

Senior Director, Product Design at Delivery Hero I Ex-tiket.com, Bukalapak, Uber, adidas I Berlin I Tweet @ SumitroYoel

Responses (3)