Berasa sebagai Penipu waktu Bekerja di Uber

Yoel Sumitro
2 min readMay 17, 2020

--

Selama gw berkarir di bidang UX, gw pernah dua kali mengalami impostor syndrome. Yang pertama di tahun 2012, ketika gw mendapatkan pekerjaan sebagai UX Designer pertama kalinya. Yang kedua di tahun 2016, ketika gw menjadi full time UX Researcher di Uber. Yang belum tau tentang Impostor Syndrome, itu adalah sebuah perasaan ketakutan bahwa kita adalah fraud mengenai kompetensi kita. Kita merasa ga layak dan skill teknikal kita jauh di bawah apa yang orang lain kira.

Jadi itu yang gw rasakan di tahun 2016. Ada perasaan jiper ketika profile dan pengalaman gw dibandingkan dengan 40an lebih researcher Uber lain yang ex-Apple, ex-Google, ex-Facebook, atau punya PhD di Cognitive Science. Gw keep berandai-andai “Jangan-jangan mereka ini salah mengambil keputusan waktu hire gw.”, “Waduh gimana kalau gw oversell skill research gw. Jangan-jangan waktu interview dulu, gw lagi menipu mereka”. Gw keep berandai-andai 2 skenario utama: kalau gw bisa bekerja di Uber itu pure karena luck dan orang-orang yang memutuskan buat hiring gw telah overestimate skill dan experience gw. Keep berandai-andai kalau gw ini a con artist yang suatu waktu bakal ketauan dan dipecat sama Uber.

Ternyata syndrome ini lumayan jamak terjadi di dunia profesional. Gw bukan yang pertama kali alamin ini dan gw menemukan dua trick yang bikin akhirnya gw bisa menang dari penderitaan impostor syndrome ini.

Trick yang pertama sebenernya tidak terlalu reliable: yaitu untuk own external validation. Kadang budaya Asia kita bikin kita buat malu-malu own pujian akan kita. “Design lu bagus yah” — “Ah engga, biasa-biasa aja”. Tapi, gw belajar buat akhirnya own wins and celebrate it, setiap kali kerjaan gw mendapat validation dari luar. Misalin di bulan kedua gw bekerja di Uber, gw dapet award “employee of the month” di tim design Uber karena beberapa project riset gw di Asia. Waktu itu, gw belajar untuk own it. I told myself “Look el, you are not a fraud right? Keep up the good work!”. Namun ada satu kekurangan dari trik yang pertama ini. Trik ini mengandalkan external validation yang engga bisa gw control. Gimana kalau kita ga dapetin validasi itu? Bisa-bisa gw terus2in depresinya karena berasa fraud.

Trick yang kedua menurut gw lebih reliable karena mengandalkan internal validation. Gw berusaha untuk memakai disconfirming evidence ini: ga mungkin banget gw sejago itu buat nipu 8 researcher yang interview gw waktu di Uber. Menurut gw, researcher-researcher ini jago banget kan yah. Masa iya mereka bisa gw tipu-tipu? Masa gw bisa jadi con artist dan menipu semua orang yang bekerja ama gw selama 6 tahun sebelumnya? Masa gw pede banget, mikir bisa menipu sistem hiring Uber atau manager gw? Disconfirming evidence ini akhirnya lumayan bantu buat gw menang dari syndrome ini.

Impostor syndrome ini uniknya lebih banyak gw temuin di posisi UX Researcher daripada UX Designer. Mungkin karena lebih susah untuk ngedapatin external validation di pekerjaan UX Researcher daripada UX Designer. Next time kalau lu punya temen researcher yang curhat tentang berasa ga layak atau ga punya impact di pekerjaannya, coba share 2 trick di atas!

Yoel (Saying hi to all people who also suffer impostor syndrome)

--

--

Yoel Sumitro
Yoel Sumitro

Written by Yoel Sumitro

Senior Director, Product Design at Delivery Hero I Ex-tiket.com, Bukalapak, Uber, adidas I Berlin I Tweet @ SumitroYoel

Responses (1)