Abductive Reasoning

Yoel Sumitro
3 min readMay 5, 2020

--

Dua hari lalu ada seorang sepupu yang nanya ke gw, “Gw mau hire researcher nih, trait apa yah yang gw harus pake deciding researcher yang oke yang kaya gimana?”. Gw jawab bahwa ada 3 hal: 1. Chops buat tau depth, width, and creativity dari research methods 2. Communication skill buat presenting findings dan yang terakhir 3. Abductive reasoning skill. Gw akan bahas yang terakhir kali ini.

Abductive reasoning itu adalah salah satu senjata utama seorang researcher. Mungkin kita lebih familiar dengan 2 tipe reasoning yang lainnya yaitu Deduktif (teori umum -> kesimpulan khusus yang pasti benar) dan Induktif (observasi khusus -> teori umum yang kemungkinan besar benar). Kedua tipe reasoning ini sayangnya kurang bisa dipakai di dunia UX Research.

Mengapa? Untuk reasoning tipe Deduktif, object research kita biasanya cukup baru dan sangat spesifik/ kontekstual sehingga belon ada riset terdahulu yang telah membentuk body of knowledge yang pasti tentang subject itu. Sebaliknya reasoning tipe Induktif tidak bisa kita pakai karena keterbatasan resource yang kita punya sehingga riset yang kita lakukan hanya bisa menyentuh area terbatas dari kompleksitas sebuah subject, jadi kita tidak terlalu percaya diri kalau kesimpulan kita akan pasti akurat. Akhirnya kita harus settle dengan Abductive reasoning.

Apa itu Abductive reasoning? Basically ini adalah tipe reasoning yang menggabungkan berbagai macam observasi yang terbatas, kreativitas, dan teori umum untuk menjelaskan sebuah fenomena atau mengajukan sebuah solusi dari sebuah masalah (observasi khusus + kreativitas + teori umum -> good enough penjelasan/ solusi yang belum tentu akurat). Yang unik dari abductive reasoning ini adalah bahwa ketidakpastian dan ketidakakuratan dari hasil reasoning ini diakui to some degree. Jadi kita mengakui bahwa kesimpulan kita sangat mungkin salah dan tidak mungkin bisa menjelaskan kesemua fenomena secara kompleks. Namun ditambah bumbu kreativitas dan critical thinking kita, kita bisa punya conviction bahwa “this is the reason behing phenomenon X and we should build Y to solve the issue Z”

Contoh dari ketiga reasoning ini adalah sebagai berikut:

  • Deductive: Semua ayam berkaki dua -> Ayam tetangga yang selalu berkokok tiap pagi pasti berkaki dua.
  • Inductive: Gw selalu melihat ayam yang berkaki dua di Jakarta -> Semua ayam berkaki dua
  • Abductive: Ayam tetangga gw liat ada yang berkaki satu, semua ayam berkaki dua -> Kayaknya ayam tetangga itu pernah kecelakaan sehingga kakinya diamputasi satu. Untuk itu kita harus bikin sensor ayam di setiap sepeda motor yang bisa mengerem secara otomatis ketika melihat ayam menyeberang jalan.

Kalau dilihat di contoh abductive reasoning di atas: apalah penjelasan dan solusinya pasti benar? Belum tentu. Ada kemungkinan ayam itu sejak lahir sudah kelainan dari lahir. Mungkin kita bisa bertanya pada pemiliknya kenapa ayam itu berkaki satu dan even kalau si pemiliknya bilang kalau ayamnya pernah kecelakaan, apakah kesimpulannya pasti benar? Belum tentu juga, bisa saja si pemilik berbohong kepada kita. Namun kesimpulan “ayam tetangga yang pernah kecelakaan ini” good enough buat menjelaskan fenomena yang kita lihat.

Lalu terkait dengan solusinya, kenapa harus dengan sensor ayam? Walahualam. Kali ini ada sisi creativity yang bermain. Dimana kita connecting dots between what we saw and using our creative hat we come up with that proposed product.

Nah kegunaan abductive reasoning ini di dunia design tidak lain dan tidak bukan adalah untuk mengambil keputusan bisnis atau mengajukan usulan solusi produk berdasarkan kreativitas kita dan penjelasan yang “most likely true” dari hasil primary research dan teori-teori umum yang kita pakai.

Lalu kenapa skill ini penting untuk seorang researcher? Kita coba pakai contoh ayam yang di atas. Researcher Jono dan researcher Tuti yang sama2 mengobservasi ada satu ayam yang berkaki satu dan mengetahui teori umum bahwa semua ayam berkaki dua bisa menghasilkan penjelasan yang berbeda. Jono mungkin akan mencoba mentriangulasi data dengan bertanya ke sang pemiliknya sebelum membuat kesimpulan tapi Tuti mungkin saja come up with an explanation bahwa ada 13% ayam alien yang berkaki satu. Jadi abductive reasoning ini adalah sebuah craftsmanship, sebuah critical thinking researcher untuk connecting the dots yang akan terus diasah selama menjadi researcher.

Begitu juga dengan solusi yang berusaha kita tawarkan. Jono mungkin bisa come up with solusi sensor anti ayam tapi Tuti mungkin bisa come up dengan solusi kebun binatang untuk para ayam alien.

Cheers,

Yoel (Kesimpulan abductive reasoning paling terbukti ga akurat yang pernah gw ambil adalah ketika gw menyimpulkan bahwa driver di Indonesia ga butuh e-wallet and I was wrong)

--

--

Yoel Sumitro
Yoel Sumitro

Written by Yoel Sumitro

Senior Director, Product Design at Delivery Hero I Ex-tiket.com, Bukalapak, Uber, adidas I Berlin I Tweet @ SumitroYoel

Responses (3)